Kamis, 17 September 2015
Badai Hujan Besi Cair Terjadi Di Bintang Gagal
Penelitian baru menunjukkan bahwa awan badai yang luar biasa dan hujan besi cair mungkin menjadi fenomena umum pada bintang-bintang gagal yang dikenal sebagai katai coklat.
Para astronom menggunakan teleskop inframerah Spitzer untuk mengamati katai coklat.Mereka menemukan perubahan kecerahan yang mereka percaya menandakan adanya awan badai. Badai ini tampaknya berlangsung setidaknya beberapa jam, dan mungkin dapat sedahsyat badai Great Red Spot yang terkenal di Jupiter.
"Sebuah fraksi besar katai coklat menunjukkan variabilitas siklus dalam kecerahan, menunjukkan awan atau badai," kata peneliti studi Aren Heinze dari Stony Brook University yang mengatakan dalam konferensi pers di 223rd meeting of the American Astronomical Society.
Brown dwarf adalah objek yang dingin, objek ini seperti bintang tapi tidak memiliki cukup massa untuk meleburkan hidrogen menjadi helium, sumber energi utama bagi bintang. Mereka dapat dianggap sebagai sepupu planet raksasa seperti Jupiter.
Heinze dan rekan-rekannya mengukur kecerahan 44 katai coklat sampai 20 jam, sebagai bagian dari program Spitzer "Weather on Other Worlds".
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa katai coklat memiliki cuaca berbadai 5 sampai 10 persen saat itu, sehingga para ilmuwan berharap untuk melihat beberapa variasi kecerahan. Namun yang mengejutkan, hampir setengah dari katai coklat yang diamati menunjukkan variasi tersebut.Dengan mempertimbangkan fakta bahwa sekitar setengah katai coklat berorientasi sedemikian rupa sehingga badai bisa tersembunyi, atau hanya berubah, data ini menunjukkan bahwa badai turbulen pada katai coklat sangat umum.
"Kita berbicara tentang awan yang memiliki massa lebih besar dari bumi yang membentuk dan menghilang dalam skala waktu hanya beberapa jam pada katai coklat," kata Heinze.
Awan ini jauh terlalu panas bagi air.Sebaliknya, para astronom percaya bahwa mereka terdiri dari pasir dan besi cair.
Spitzer memantau badai kurang dari satu hari, sehingga para astronom tidak tahu apakah badai bertahan selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun, seperti Jupiter Great Red Spot. Dalam beberapa kasus, badai bisa dinamis dan cepat berubah, kata Heinze.
Pengamatan kecerahan dimungkinkan karena Spitzer berada di atas atmosfer bumi, di mana kilau panas planet kita tidak mengaburkan mereka.
Baca juga : Salju Dari Logam Turun Di Permukaan Venus
Kejutan lain dari pengamatan Spitzer adalah kanap putaran katai coklat melambat.Pemikiran konvensional menyatakan bahwa katai coklat berputar dengan cepat ketika mereka terbentuk, tanpa melambat seiring bertambahnya usia. Tim tidak tahu mengapa katai coklat berputar begitu lambat. Mereka mungkin telah terbentuk dalam cara yang tidak biasa, atau mereka dapat diseret oleh gravitasi dari planet yang tidak diketahui yang mengorbit dekat.
Mempelajari cuaca pada katai coklat bisa memperluas pemahaman para ilmuwan untuk mempelajari cuaca di planet raksasa di luar tata surya kita, yang lebih sulit untuk dilihat karena silau dari bintang induknya, kata para peneliti.
WR 102 : Bintang Terpanas Yang Diketahui Saat Ini
Ilustrasi bintang Wolf-Rayet |
WR 102 masuk dalam klasifikasi bintang spektral WO2 dan salah satu dari sangat sedikit bintang yang diketahui masuk dalam klasifikasi bintang Wolf-Rayet deret oksigen, hanya empat di galaksi Bima Sakti dan lima di galaksi luar yang ditemukan saat ini. Bintang ini juga merupakan bintang terpanas yang dikenal saat ini dengan suhu permukaan sekitar 210.000 kelvin (209.726 C). Bandingkan dengan suhu permukaan Matahari yang mencapai hanya 5.778 kelvin (5.505 C)
Pemodelan atmosfer memperkirakan bahwa luminositas bintang ini 282.000 lebih terang dari Matahari, sementara perhitungan dari kecerahan dan jarak memberikan luminositasnya hampir 500.000 kali lebih terang dari Matahari walaupun jarak pastinya belum diketahui.
WR 102 adalah bintang padat yang sangat kecil, memiliki radius kurang dari 40% dari radius Matahari tapi hampir 20 kali lebih masif. Angin bintangnya sangat kuat, dengan kecepatan terminal 5.000 kilometer per detik yang menyebabkan WR 102 kehilangan massanya 10−5 massa Matahari / tahun. Sebagai perbandingan, Matahari kehilangan (2-3) x 10−14 massanya per tahun karena angin bintang, beberapa ratus juta kali lebih kecil dari WR 102.
Bintang Wolf-Rayet jenis WO adalah evolusi terakhir dari bintang paling masif sebelum meledak menjadi supernova, mungkin disertai ledakan sinar gamma. Hal ini sangat mungkin karena WR 102 berada pada tahap terakhir dari fusi nuklirnya, dekat atau akhir pembakaran helium. Bintang ini akan segera meledak sebagai supernova dalam hal astronomi, dalam beberapa ribu tahun kedpea. Massa dan rotasi cepatnya mungkin akan menghasilkan semburan sinar gamma.
Nama Lain bintang ini adalah V3893 Sagittarii, LS 4368, ALS 4368, Sand 4
Mars Spacesuit
The Martian surface is not very welcoming for humans. The atmosphere is cold and there is barely any breathable air. An astronaut exploring the surface must wear a spacesuit to survive outside of a habitat while collecting samples and maintaining systems.
Credits: Giles Keyte/NASA
NASA is currently developing the technologies to build a spacesuit that would be used on Mars. Engineers consider everything from traversing the Martian landscape to picking up rock samples.
The Z-2 and Prototype eXploration Suit, NASA’s new prototype spacesuits, help solve unique problems to advance new technologies that will one day be used in a suit worn by the first humans to set foot on Mars. Each suit is meant to identify different technology gaps – features a spacesuit may be missing – to complete a mission. Spacesuit engineers explore the tradeoff between hard composite materials and fabrics to find a nice balance between durability and flexibility.
One of the challenges of walking on Mars will be dealing with dust. The red soil on Mars could affect the astronauts and systems inside a spacecraft if tracked in after a spacewalk. To counter this, new spacesuit designs feature a suitport on the back, so astronauts can quickly hop in from inside a spacecraft while the suit stays outside, keeping it clean indoors.
Plant Farm
Credits: Peter Mountain/NASA
Water Recovery
There are no lakes, river or oceans on the surface of
Mars, and sending water from Earth would take more than nine months.
Astronauts on Mars must be able to create their own water supply. The
Ares 3 crew does not waste a drop on Mars with their water reclaimer,
and Watney needs to use his ingenuity to come up with some peculiar ways
to stay hydrated and ensure his survival on the Red Planet.
On the International Space Station, no drop of sweat,
tears, or even urine goes to waste. The Environmental Control and Life
Support System recovers and recycles water from everywhere: urine, hand
washing, oral hygiene, and other sources. Through the Water Recovery
System (WRS), water is reclaimed and filtered, ready for consumption.
One astronaut simply put it, “Yesterday’s coffee turns into tomorrow’s
coffee.”
Liquid presents some tricky problems in
space. The WRS and related systems have to account for the fact that
liquids behave very differently in a microgravity environment. The part
of the WRS that processes urine must use a centrifuge for distillation,
since gases and liquids do not separate like they do on Earth.
NASA is continuing to develop new technologies for water
recovery. Research is being conducted to advance the
disposable multifiltration beds (the filters that remove inorganic and
non-volatile organic contaminants) to be a more permanent component to
the system. Brine water recovery would reclaim every drop of the water
from the “bottoms product” leftover from urine distillation. For future
human-exploration missions, crews would be less dependent on any
resupply of spare parts or extra water from Earth.
Langganan:
Postingan (Atom)